Kamis, 24 Februari 2011

Selamat karena Menolong orang lain

Ada cerita mengenai seorang pejalan kaki yang mengadakan perjalanan dimalam bersalju yang tebal dan dingin dibawah nol derajat di New England. Ia sudah begitu lelah dan tahu kakinya sudah beku. Dan ia merasa tidak dapat bergerak lebih jauh lagi. Hatinya mulai tergoda untuk menyerah dan ingin berbaring di atas salju. Tapi ia sadar itu berarti kematian. Sementara ia terus berjuang dan berjalan di atas salju, kakinya terantuk pada sebuah gundukan. Dan ternyata gundukan itu adalah tubuh seseorang. Ia membalikkan tubuh orang itu dan melihat bahwa orang itu masih hidup. Hatinya bergumul antara ditinggal atau ditolong. Ia merasa tenaganya sendiri saja seperti tinggal menunggu ajal. Ia merasa tidak mungkin menolongnya. Karena ia sendiri sedang berjuang untuk hidup.

Tapi tiba-tiba rasa belas kasihan mulai berkobar dalam dirinya. Dan ia merasakan ada sesuatu yang bergejolak yang memberi semangat baru untuk hidup bagi dirinya dan bagi orang yang ditolongnya. Ia mulai berbicara padanya dan mencoba untuk menggosok kaki tangan orang itu. Ia angkat orang itu dengan sisa tenaganya. Mulai berjalan berjuang menempuh jalan bersalju sambil membopong orang itu. Tidak lama kemudian ia menjadi berkeringat ia merasakan aliran darahnya mulai mengalir kembali pada anggota tubuhnya. Di kejauhan ia melihat cahaya dan ia maju terus mendekati cahaya itu. Dan akhirnya jatuh rebah tepat di depan pintu rumah orang itu.

Rumah itu adalah milik seorang petani bersama istrinya dan mereka menyeret dua tubuh laki-laki setengah kaku itu. Membawanya ke tempat perapian dan menghangatkannya. Memberikan makanan dan minuman hangat dan tempat tidur. Orang yang ditolong mengucapkan terima kasih kepada penolongnya karena telah menyelamatkan jiwanya. Pejalan kaki dari New England ini berkata,”Saya pun senang bertemu dengan anda. Oleh karena telah menolong hidup anda sebenarnya saya juga menyelamatkan hidup saya sendiri. Karena tadinya saya juga sebenarnya mau menyerah.”

Setiap usaha dan tugas yang dibuat untuk orang lain sebenarnya justru juga untuk mendatangkan keuntungan bagi diri kita sendiri. Kalau kita melukai orang lain maka sebenarnya kita juga melukai diri kita sendiri. Setiap kita memberkati orang lain, maka kita juga memberkati diri kita sendiri. Setiap kata simpati yang diucapkan pada orang yang berduka, sering juga melepaskan simpati pada diri kita sendiri.

Sebuah artikel mengatakan bahwa kesukaan berbuat baik pada orang lain memberi cahaya pada perasaan-perasaan yang memancar melalui syaraf, mempercepat sirkulasi darah dan mendukung mental bahkan kesehatan tubuh. Maka dari itu marilah kita belajar berhikmat dan bijaksana dengan melihat kebutuhan-kebutuhan orang lain. Karena kita akan dibuat antusias dan bergairah dalam hidup.

Sumber : Inspirasi Kehidupan

Kamis, 10 Februari 2011

Rumah dengan Jendela Emas

Ada seorang gadis kecil hidup di sebuah rumah yang sederhana. Seringkali ia merasa menyesal dilahirkan di keluarga miskin seperti itu, apa lagi ketika ia melihat ke seberang lembah dimana terdapat sebuah rumah besar di bukit dengan jendela yang terbuat dari emas berkilauan tertimpa sinar matahari. Gadis kecil itu membayangkan bagaimana indahnya jika ia dibesarkan di rumah dengan jendela-jendela emas itu, dan bukannya di rumah kecil seperti ia tinggali saat ini.

Sekalipun ia mencintai ke dua orangtuanya, dia tidak pernah bisa menghapus keinginan untuk bisa tinggal di rumah besar dengan jendela emas itu. Mimpi itu terus ia simpan hingga ia bertumbuh besar.

Suatu hari ketika ia telah cukup besar dan memiliki ketrampilan yang cukup untuk keluar dari pekarangan rumahnya, dia meminta ijin pada ibunya untuk bisa bersepeda di luar pagar rumahnya dan turun menuju lembah. Setelah memohon-mohon pada sang ibu, akhirnya gadis itu diijinkan asalkan tidak pergi terlalu jauh dari rumah.

Hari itu adalah hari yang cerah dan indah, serta gadis itu tahu pasti kemana tujuannya, dia mengarahkan pandangannya kerumah besar dengan jendela-jendela emas itu. Namun setelah bersepeda cukup jauh dan menaiki bukit di mana rumah itu berada, ia sangat kecewa. Setelah dilihatnya dari dekat, ternyata rumah tersebut tampak tidak terawat dan jendelanya pun tidak terbuat dari emas, bahkan terlihat kotor. Rumah itu tidak tampak seperti yang ia lihat selama ini dari jauh, hanya sebuah rumah yang tidak berpenghuni dan tidak terawatt.

Dengan sedih ia akhirnya memutuskan pulang. Ia memutar sepedanya dan beranjak untuk kembali ke rumahnya. Saat ia mengangkat wajahnya, gadis itu tiba-tiba dikejutkan oleh pemandangan di depan matanya. Dari sisi bukit dimana ia berada saat ini, ia bisa melihat rumah mungilnya, dan jendela itu.. jendela dimana ia biasa merenung terlihat berkilau bagai emas ditimpa sinar matahari sore.

Gadis kecil itu akhirnya sadar bahwa selama ini ia hidup di sebuah rumah dengan jendela emas seperti yang diimpikannya selama ini. Rumah itu penuh dengan kehangatan dan cinta dari orangtuanya. Semua yang ia impikan sebenarnya ada di dekatnya, namun karena ia terfokus pada rumah lain, ia tidak pernah melihatnya.

Apa yang dialami oleh gadis kecil dalam cerita diatas seringkali kita alami. Kita sering memandang rumput orang lain lebih hijau dari rumput di halaman rumah kita sendiri. Hasilnya, kita tidak bisa mensyukuri apa yang kita miliki. Jadi, mulai saat ini ayo kita ubah cara kita memandang, lihatlah bahwa setiap anugrah Tuhan dalam hidup kita adalah sesuatu yang berharga.

sumber : jawaban

Jumat, 04 Februari 2011

11 Resolusi Baru bagi orang tua ditahun 2011




Saya selalu bersyukur ketika menyadari bahwa Tuhan menciptakan pagi hadir setiap hari. Sebab pagi mengawali hidup dengan sesuatu yang baru. Bahkan ketika malam dilalui dengan berat, pagi selalu menyediakan harapan baru. Demikian pula tahun baru. Segala kepenatan dan perjuangan keras di tahun yang lalu boleh dijalani dan dilewati. Namun tahun yang baru memberi pengharapan bahwa hari depan akan dijalani dengan jauh lebih baik. Sebab itu, wajar bila seseorang kemudian memiliki resolusi di tahun baru—sebuah pembaruan komitmen untuk melakukan hal yang lebih baik di tahun yang baru, dengan energi dan semangat baru yang membara.

Khususnya sebagai orangtua, kita juga dapat menyusun resolusi tahun baru yang positif. Yakni, menjadi orangtua yang lebih baik, khususnya bagi anak-anak titipan Tuhan, di tahun 2011 ini. Apa sajakah kiranya resolusi yang dapat diambil orangtua? Berikut adalah beberapa resolusi yang dapat menjadi komitmen Anda dan saya.

1. Lebih banyak menyediakan waktu bagi anak-anak
Mari berkomitmen dan mengusahakan untuk selalu memiliki waktu untuk bersama anak, setiap hari. Bahkan untuk bermain bersamanya, tak hanya “mencarikan mainan” atau “menemaninya” bermain di arena permainan di mal atau pusat hiburan. Sungguh-sungguh ada dan memberi perhatian bagi anak-anak. Charles Francis Adams, seorang diplomat dan tokoh politik abad 19, biasa menulis buku harian. Suatu hari ia menulis demikian: “Pergi memancing dengan anak laki-lakiku—satu hari terbuang begitu saja.” Putranya, Brook Adams, juga biasa menulis buku harian, yang masih ada hingga sekarang. Pada tanggal yang sama, Brook Adams menulis demikian: "Pergi memancing dengan ayahku—sungguh hari yang paling indah di hidupku!” Ketika pergi memancing dengan anaknya, sang ayah merasa bahwa ia sedang membuang-buang waktunya. Padahal, si anak justru merasa bahwa itulah saat paling berharga baginya.

2. Lebih banyak menepati janji, bukan sekadar mengumbar janji
Orang dewasa cenderung mudah berjanji, tetapi bisa mudah juga melupakannya—tidak menepatinya. Anak-anak dianggap sebagai pribadi yang tidak mengingat-ingat janji. Padahal kenyataannya tidak demikian. Anak-anak justru sangat memperhatikan sebuah janji yang diberikan orangtuanya dan menanti-nanti janji itu ditepati. Itu sebabnya lebih baik orangtua tidak berjanji bila belum tentu bisa menepati. Akan tetapi sekali berjanji, misalnya akan mengajak berenang apabila ulangan umum selesai, maka janji itu harus dibayar. Bukankah janji adalah utang?

3. Lebih banyak mendengar daripada buru-buru menghakimi atau bertengkar
Kerap terjadi, ketika masalah muncul, maka orangtua menjadi suara yang paling dominan untuk bicara. Mencoba menyelesaikan masalah anak, walau kadang belum tentu tahu apa yang sebenarnya terjadi. Padahal, penghakiman yang tidak benar, justru bisa melukai hati. Maka, ada baiknya kita mencoba menahan diri, dan mendengar dulu apa yang dikatakan anak-anak. Ini justru melatih anak untuk berani berkata benar, dan berani bersikap benar ketika masalah terjadi.

4. Lebih banyak melihat kelebihan, daripada kekurangan anak
Merasakan adanya duri di tengah rumpun mawar memang terasa lebih mudah daripada melihat si mawar cantik di tengah rumpun itu. Melihat kelemahan dan keburukan anak sering juga terasa lebih mudah daripada melihat dan mensyukuri kelebihan anak-anak kita. Ubahlah kacamata ”negatif” kita dengan kacamata ”positif” yang menolong kita untuk lebih banyak menghargai anak kita karena kelebihan-kelebihannya—yang ketika semakin kita hargai, maka kelebihan itu semakin berkembang. Daripada menyoroti kelemahannya terus, hingga kelebihannya pun malah ikut terkikis hilang.

5. Lebih banyak memberi teladan, daripada menuntut
Anak-anak serupa dengan semen basah. Apa saja yang ”jatuh” di atasnya, akan meninggalkan kesan yang ”tercetak” di sana. Apa saja yang dilihat dan didengarnya setiap hari dari perbuatan dan perkataan kita sebagai orangtua, itulah yang akan ”mencetak” kepribadian dan cara hidupnya. Taruhkan banyak kesan positif di hidupnya. Kondisi seperti apa yang Anda ingin ada dalam hidup anak Anda, itulah yang harus Anda hidupi dan tularkan kepadanya. Kita tak dapat menuntut sebuah tanaman ”berbuah baik”, bila kita tak menabur dulu ”benih yang baik” itu.

6. Lebih banyak minta maaf dan memaafkan
Banyak konflik tak terhindari dalam keluarga. Bahkan termasuk dengan anak-anak. Akan tetapi, konflik sebesar apa pun sesungguhnya akan terselesaikan bila ada satu pihak yang mulai mengalah dan meminta maaf. Bila pun anak-anak yang salah, kerendahan hati orangtua untuk meminta maaf lebih dulu, akan menolong anak untuk melihat masalah dengan lebih jernih. Masalah pun lebih cepat selesai. Apalagi kalau anak kemudian menyadari kesalahannya, biarlah orangtua cepat untuk memaafkan sehingga anak pun mengerti bahwa orangtuanya sungguh mengasihinya.

7. Lebih banyak memercayai, daripada menyangsikan
Ketika anak-anak kita minta belajar bertanggung jawab, maka ia perlu latihan untuk bisa melakukannya. Jika kita memintanya belajar membawa gelas kaca, mungkin kita perlu merelakan satu-dua gelas pecah sebelum ia bisa melakukannya dengan baik. Jangan terus menyangsikan apakah anak bisa melakukan sesuatu, sehingga kita terus melakukan tugas itu untuknya. Maka, ia takkan pernah bisa melakukannya. Ini bukan saja tentang membawa gelas. Namun tentang mengambil keputusan, tentang kemandirian, tentang pengambilan tanggung jawab.

8. Lebih banyak menemukan talenta anak, daripada memaksakan keinginan orangtua
Jadilah orangtua yang lebih baik dengan lebih banyak melihat talenta dan karunia khusus yang dititipkan Tuhan dalam diri anak-anak kita. Lalu membantu dan mendukungnya mengembangkan talenta tersebut secara maksimal. Bahkan bila bakat dan kemampuannya sama sekali tidak sama dengan apa yang kita miliki, tidak sama dengan yang kita inginkan. Bila dulu kita bercita-cita ingin jadi penari balet, tetapi anak perempuan kita cenderung ”tomboy”, maka memaksanya menari balet hanya memancing masalah. Bahkan membuat kita tak dapat melihat kelebihannya di bidang lain.

9. Lebih banyak mematikan TV, agar dapat berbicara dari hati ke hati
Televisi kerap kali mencuri waktu kita bersama keluarga. Banyaknya stasiun TV dan program menarik yang ada di TV membuat banyak keluarga—sadar atau tak sadar—terus menerus menyalakan TV di rumah. Bahkan, banyak keluarga telah menjadikan TV sebagai ”pengasuh anak”, yang sanggup membuat anak tenang selama berjam-jam. Padahal, segala sesuatu yang hanya ”ditonton” sama sekali tak membuat otak anak menjadi aktif, justru sebaliknya, menjadi pasif. Cobalah untuk mematikan TV, dan lihatlah bahwa tiba-tiba saja kita memiliki waktu untuk saling mendengar dan saling berkomunikasi. Lihatlah bahwa anak-anak dapat melakukan lebih banyak hal lain yang lebih berguna dan mengaktifkan otaknya bekerja. Misalnya saja, membaca buku.

10. Lebih banyak memeluk dan menunjukkan kasih kepada anak-anak
Sebuah penelitian menunjukkan, bahwa anak-anak yang sering disentuh, dibelai, dan dipeluk orangtuanya, akan tumbuh sehat. Mereka cenderung merasa nyaman dan lebih percaya diri. Bahkan, janin yang masih di kandungan pun sangat menyukai sentuhan kasih orangtuanya. Ia cenderung mengalami pertumbuhan yang bagus. Dan kelak, tumbuh menjadi seorang penyayang. Maka, daripada lebih banyak menuding anak dan mematikan kepribadiannya, mari lebih banyak memeluk dan memberi kehangatan kasih bagi anak-anak kita. Rasakan bahwa mereka adalah karunia tak ternilai dari Yesus, yang mempercayai kita untuk mengasihi mereka.

11. Lebih banyak mendampingi anak untuk bertumbuh secara rohani
Yang terakhir, tetapi justru yang terpenting, Tuhan memercayai kita menjadi orangtua agar kita mendampingi anak untuk mengenal, mempercayai, dan mengasihi Yesus. Maka, mari berkomitmen untuk mengajarinya berdoa. Mengajarinya membaca Alkitab. Membimbingnya menaati firman Allah. Menuntunnya untuk mengerti karya Kristus bagi hidupnya. Mengajarnya untuk mengandalkan Tuhan sebagai Pribadi yang selalu dekat di hatinya. Mengajarinya berkata, bertindak, berpikir, sebagaimana Yesus inginkan. Tentu hal-hal ini meminta waktu, energi, dan pikiran kita. Namun, inilah peran terbesar yang dapat kita berikan sebagai orangtua. Bahwa urusan kita sebagai orangtua tak berakhir di dunia yang fana ini saja, tetapi perlu dipertanggungjawabkan hingga di kekekalan.

Selamat membuat resolusi tahun baru untuk menjadi orangtua yang lebih baik—dengan pertolongan Tuhan dan kasih terbaik kita bagi anak-anak.

Disadur dari : gloria